PUISI-PUISI AMIR HAMZAH




Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911 dan meninggal dunia pada 20 Maret 1946 di Kuala Begumit, Binjai. Nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indrapura yang kemudian disingkat menjadi Tengku Amir Hamzah. Nama Amir Hamzah diberikan oleh sang ayah karena kekagumannya kepada Hikayat Amir Hamzah.

 Amir Hamzah mewariskan dua buah kumpulan sajak karangannya, yaitu Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi.Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, banyak pengamat yang menilai bahwa Nyanyi Sunyi bukan hanya merupakan puncak pencapaian kreatif Amir Hamzah, namun juga menjadi salah satu puncak bagi kepenyairan Indonesia. Antologi puisi Nyanyi Sunyi menjadi pemula bagi sajak-sajak kemudian yang membahasakan kesunyian.

Kumpulan sajak Amir Hamzah yang lain, yaitu Buah Rindu, sebenarnya cenderung merupakan semacam catatan biografi. Meskipun buku kumpulan puisi ini terbit lebih belakangan dibanding Nyanyi Sunyi, namun proses penulisannya lebih dahulu dibanding puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi. Sajak-sajak dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi adalah sajak-sajak yang   lebih melukiskan perjuangan dalaman  sang penyair. Melalui Nyanyi Sunyi itulah kehidupan menjadi semacam ruang filosofis yang sunyi.

Para peneliti dan kritikus sastra yang menyimpulkan dua hal tentang bahasa puisi Amir Hamzah. Di satu sisi, ia seolah-olah terikat pada bahasa Melayu, namun di sisi lain Amir Hamzah juga sangat bebas ketika memasukkan beberapa kata yang berasal dari bahasa Jawa, Kawi, atau Sansekerta. Ketika membaca sajak-sajak Amir Hamzah, tak jarang pembaca akan menemui beberapa kata yang bukan berasal dari bahasa Melayu, misalnya dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma, cendera, daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, dan lain sebagainya.

Amir Hamzah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita.


Sunyi Itu Duka
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus

Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku gila, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku ...


Barangkali

Engkau yang lena dalam hatiku
Akasa swarga nipis-tipis
Yang besar terangkum dunia
kecil terlindung alis

Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang

Bangkit Gunung
Buka mata-mutira-mu
Sentuh kecapi lirdusi
Dengan jarimu menirus halus

Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat

Mari menari dara asmara
Biar terdengar swara swarna
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri


Hanya Satu

Timbul niat dalam kalbumu
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk  tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba

Teriak riuh redam terbelam 
Dalam gegap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi

Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang  lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa

***

Bersemayam sempana di jemala gembala 
Duriat  jelita bapakku Ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda .

Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad.

Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musi di puncak Tursina


Permainanmu

Kaukeraskan kalbunya
Bagai batu membesi benar
Timbul telangkaimu bertongkat urat 
Ditunjang pengacara petah pasih

Dihadapanmu lawanmu
Tongkatnya melingkar merupa ular 
Tangannya putih, putih penyakit 
Kekayaanmu nyata,terlihat terang

Kekasihmu ditindasnya terns 
Tangan,tapi tersembunyi 
Mengunci bagi paten
Kalbu ratu rat rapat

Kaupukul raja-dewa
Sembilan cambuk melecut dada 
Putera-mula peganti diri
Pergi kembaii ke asal asli

Bertanya aku kekasihku
Permainan engkau permainkan
Kautulis kaupaparkan 
Kausampaikan dengan lisan

Bagaimana aku menimbang 
Kaulipu lipatkan
Kaukelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu 

Kauhamparkan badan
Ditubir bibir pantai permai
Raja ramses penaka durjana
Jadi tanda di hari muka

Bagaimana aku menimbang
Kekasihku astana sayang
Ratu restu telaga sempurna
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul mati.


Turun Kembali

Kalau aku dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?

Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia

Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati

Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku

Terlihat ke bawah.
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali.


Karena Kasihmu

Karena kasihmu
Engkau tentukan waktu
Sehari lima kali kita bertemu

Aku anginkan rupamu
Kulebihi sekali
Sebelum cuaca menali sutera

Berulang-ulang kuintai-intai
Terus-menerus kurasa-rasakan
Sampai sekarang tiada tercapai
Hasrat sukma idaman badan

Pujiku dikau laguan kawi
Datang turun dari datuku
Diujung lidah engkau letakkan
Piatu teruna ditengah gembala 

Sunyi sepi pitunang poyang
Tadak meretak dendang dambaku
Layang lagu tiada melangsing
Haram gemerencing genta rebana

Hatiku, hatiku
Hatiku sayang tiada bahagia
Hatiku kecil berduka raya
Hilang ia yang dilihatnya.


Sebab Dikau

Kasihkan hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku

Hidup seperti mimpi
Laku lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar

Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa-mesra

Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang

Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyelang dalang mengarak sajak.


Doa

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas payah terik
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu

Hanyut Aku

Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin
tiada air menolak ngelak
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berrepas tangan, aku tenggelam. Tenggelam dalam malam.
air diatas mendidih keras.
Bumi didawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!


Taman Dunia

Kau masukkan aku ke dalam taman-dunia, kekasihku
Kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa; kuntum tersenyum.
Kautundukkan haluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi.
Kaugemelaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah.
Tercengang aku, takjub, terdiam.
Berbisik engkau:
Taman swarga, taman swarga mutiara rupa”.
Engkaupun lenyap.
Termangu aku gilakan rupa


Terbuka Bunga

Terbuka bunga dalam hati!
Kembang rindang disentuh bibir-kesturi-mu. 
Melayah-layah mengintip restu senyumanmu
Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting-hati-ku, dalam masa mengembara menanda dakau.
Kekasihku! inikah bunga sejati yang tiadakan layu

Mengawan

Rengang aku dari padaku, mengikut kawalku mengawan naik
Mewajah ke bawah, tertentang aku, lemah lunak, kotor, terhantar, paduan benda empat perkara.
Datang pikiran membentang kenang, membunga cahaya cuaca lampau, menjadi terang mengilau kaca.
Lewat lambat aku dan dia, ria tertawa, bersedih suka, berkasih pedih, bagi merpati bersambut mulut.
Tersenyum sukma, kasihan serta.
Benda mencintai benda………………….
Naik aku mengawan rahman, mengikut kawalku membawa warta.
Kuat, sayapku kuat, bawakan aku, biar sampai membidai-belai cecah tersentuh, di kursi kesturi


Panji di Hadapanku

Kau kibarkan panji di hadapanku.
Hijau jernih diampu tongkat mutu-mutiara.
Di kananku berjalan, mengiring perlahan, ridlamu rata, dua sebaya, putih-putih, penuh melimpah, kasih persih.
Gelap-gelap kami berempat, menunggu-nunggu, mendengar-dengar suara sayang, panggilan-panjang, jauh-teratuh, melayang-layang.
Gelap-gelap kami berempat, meminta-minta, memohon-motion, moga terbuka selimut kabut, pembungkus halus nokta utama.
Jika nokta terduka-raya
Jika kabut tersingkap semua
Cahaya ridla mengilau ke dalam
Nur rindu memancar keluar


Memuji Dikau

Kalau aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata terkatup,
Sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.
Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku, hasratkan suara sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala,
bertindih ia pada pahaku, meminum ia akan suaraku……………………
Dan,
Iapun melayang pulang,
Semata cahaya,
Lidah api dilingkung kaca,
Menuju restu, sempana sentosa.


Kurnia

Kaukurnia aku,
Kelereng kaca cerah cuaca,
Hikmat raya tersembunyi dalamnya,
Jua bahaya dikandung kurnia,
Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara.
Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku itu lisan tanganmu.
Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dada¬ku menanti sentosa.
Sebab kelereng guli riwarni, kuketahui langit tinggi 
berdiri, tanah rendah membukit datar.
Kutilik diriku, dua sifat mesra satu:
Melangit tinggi, membumi keji

Doa Poyangku

Poyangku rata meminta sama
Semoga sekali aku diberi
Memetik kecapi, kecapi firdusi
Menampar rebana, rebana swarga

Poyangku rata semua semata
Penabuh bunyian turun-temurun
Leka mereka karena suara
Suara sunyi suling keramat

Kini rebana di celah jariku
Tari tamparku membangkit rindu
Kucoba serentak genta genderang
Memuji kekasihku di mercu lagu

Aduh, kasih hatiku sayang
Alahai hatiku tiada bahagia
Jari menari doa semata
Tapi hatiku bercabang dua

Turun Kembali

Kalau aku dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?

Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia

Di bawah teduh engkau kembangkan 
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati

Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga 
Menyentuh gambuh dalam hatiku.

Terlihat ke bawah,
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa 
Hati duniawi melambung tinggi 
Berpaling aku turun kembali


Batu Belah (kabaran)

Dalam rimba rumah sebelah
Teratak bambu terlampau tua
Angin menyusup di lubang tepas
Bergulung naik di sudut sunyi

Kayu tua membetul tinggi
Membukak puncak jauh diatas
Bagai perarakan melintas negeri
Payung menaung jamala raja

Ibu papa beranak seorang
Manja bena terada-ada
Lagu lagak tiada disangkak
Mana tempat ibu meminta.

Telur kemahang minta carikan
Untuk lauk di nasi sejuk

Tiada sayang; 
Dalam rimba telur kemahang
Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta

Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta

Dengar…………….dengar!
Dari jauh suara sayup
Mengalun sampai memecah sepi 
Menyata rupa mengasing kata

Rang………rang…………rangkup
Rang………rang…………rangkup
Batu belah batu bertangkup 
Ngeri berbunyi berganda kali

Diam ibu berpikir panjang 
Lupa anak menangis hampir 
Kalau begini susahnya hidup 
Biar ditelan batu bertangkup

Kembali pula suara bergelora 
Bagai ombak datang menampar 
Macam sorak semarai rampai 
Karena ada hati berbimbang

Menyabut ibu sambil tersedu 
Meragu langsing suara susah:

Batu belah batu dertangkup 
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut 
Sudan demikian kuperbuat janji

Bangkit bonda bedalan pelan 
Tangis anak bertambah kuat
Rasa risau dermaharajalela 
Mengangkat kaki melangkah cepat 

Jauh ibu lenyap di mata
Timbul takut di hati kecil
Gelombang bimbang mengharu pikir
Berkata jiwa menanya bonda

Lekas pantas memburu ibu
Sambil tersedu rindu berseru
Dari sisi suara sampai
Suara raya batu bertangkup.

Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa
Tutup terkatup mulut ternganga
Berderak-derik tulang-belulang

Terbuka pula,merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap………….

Tiba dara kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat cerah darak merah
Mengerti hati bonda tiada

Melompat dara kecil sendu
Menurut hati menaruh rindu……….

Batu belah, batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji.


Di dalam Kelam

Kembali lagi marak-sumarak
Jilat melonjak api penyuci
Datam hatiku tumbuh jahanam
Terbuka neraka di lapangan swarga 

Api melambai merengkung lurus 
Merunta ria melidah belah
Menghangus debu mengitam belam 
Buah tenaga bunga suwarga

Hati firdusi segera sentosa
Murtad merentak melaut topan 
Naik kabut mengarang awan 
Menghalang cuaca nokta utama

Berjalan aku di dalam kelam 
Terus lurus moal berhenti
jantung dilebur dalam jahanam
Kerongkong hangus kering peteri

Meminta aku kekasihku sayang: 
Turunkan hujan embun rahmatmu 
Biar padam api membelam
Semoga pulih pokok percayaku


Ibuku Dahulu

Ibuku Dahulu

Ibuku dahulu marah padaku
Diam ia tiada berkata
Akupun lalu merajuk pilu
Tiada perduli apa terjadi

Matanya terus mengawas daku
Walaupun bibirnya tiada bergera
Mukanya masam menahan sedan

2 ulasan:

  1. indah sungguh hasil nukilannya
    tersedu juga hilangnya seorang wira
    yang pasti Amir Hamzah dari Indonesia
    puisi-puisinya senantiasa tersemat di jiwa

    BalasPadam
  2. Begitu puitis...sayang sekali puisi-puisinya tidak dikaji kini

    BalasPadam