PENYAIR ITU ORANG YANG PUNYAI KEMANTAPAN HATI DAN AKAL

Saya mengikuti tazkirah Ramadan oleh Ustaz Zahirudin Zabidi di majlis berbuka puasa PENA – ITBM petang 18.7.2014. Di hadapan penyair dan sastrawan tersohor, mapan, gah dan gagah; di hadapan penyair dan sasterawan yang mula mengukir nama beliau mengingatkan akan sumber teragung iaitu Al-Quran yang mesti dirujuk. Dari suumber ini dicari gali segala kekuatan. Perihal penyair disebut Allah sebagai satu kelas istimewa melalui surah Asy Syua’ara’ . Ustaz Zahirudin Zabidi dalam penghujung tazkirah meminta para sastrawan, penyair dan seniman menyemak 6 ayar terakhir surah Asy Syua’ara’ tersebut.

Saya fikir Ustaz Zahirudin Zabidi boleh sahaja meneruskan ucapan itu dengan menerangkan kedudukan ayat-ayat yang dimaksudkan. Dia tidak berbuat begitu dan saya fikir itulah uslub dakwah yang sangat berhikmah.

Dalam Alquran, sebutan penyair dinyatakan secara bersama-sama dengan beberapa sebutan seperti orang gila, penyihir, dukun dan juga dengan sebutan syaitan. Al Quran, menyebutkan kata penyair secara khusus dan sangat terang sebanyak 10 kali, dan dengan bentuk derivasinya (sinonimnya) sekitar 60 kali (lihat, Mu’jam Alfadz al-Qur’an Karim, cet II, Juz 1, Kairo: Haiah al-Masry al-Amma, 1970, hal 575-577). Dan, secara istimewa, bahkan menyebut satu surahnya, dengan nama As-Syu’ara (para penyair).

Karena Al Quran telah menyebut penyair secara bersamaan dengan sebutan penyihir, dukun dan sebutan orang gila, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Islam melarang umatnya membuat puisi? Jumhur ulama telah sepakat mengatakan, bahwa perbuatan sihir (belajar sihir) dan semacamnya adalah haram, sebab ia mengarah pada sesuatu yang dilarang (persekutuan dengan syaitan). Atas dasar ini, ditegaskan bahwa Al Quran bukan hasil dari sihir (perdukunan), bukan pula karya syaitan, bukan pula karya puisi.

Imam Malik bin Anas, dalam Al-Muwatha (Kairo, Kitab al-Kalam, 1951 hlm 609-610) mengutip hadis Nabi, “Sesungguhnya dalam pemakaian bahasa terkandung sihir.” Hadis ini turun, menurutnya, ketika sahabat Nabi sangat kagum dengan kedatangan dua orang laki-laki dari Timur kemudian berpidato dengan retorika yang bagus, disertai dengan pembacaan puisi yang amat memukau.

Atas dasar itulah, ketika ditanya sahabat, apakah Nabi pernah berpuisi, Aisyah menjawab bahwa puisi adalah bentuk omongan yang ia benci (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, Juz IX, hlm 224).

Kandungan surah Asy Syua’ara’ iaitu ayat 224 – 227, Allah berfirman, “ Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat, Tidakkah engkau melihat bahawa mereka itu mengembara di lembah-lembah. Dan bahawa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya? Kecuali penyair yang beriman dan beramal soleh dan banyak mengingati Allah dan mendapat kemenangan selepas mereka dizalimi, dan orang kafir pasti mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali”

Sejarawan Muslim at-Tahawani menceritakan, sejarah turunnya surat As-Syu’ara (para penyair) dilatarbelakangi kenyataan bahawa di sekeliling Nabi adalah para penyair, seperti Ka’ab bin Zuhair, Labib bin Rabi’ah, Imri’ al-Qois, Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa.

Ketika turun ayat, “Dan para penyair diikuti oleh orang-orang yang sesat,” lantas Hasan bin Tsabit dan Ibnu Rawahah, yang dikenal sebagai penyair Muslim, cepat-cepat menghadap Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Rasulallah, ayat tersebut telah turun, dan engkau sungguh mengetahui bahwa kami ini adalah penyair.”

Nabi kemudian bersabda, “Sesungguhnya orang mukmin berjuang melalui pedang dan lidah (tinta)-nya.” At-Tahawani kemudian mengutip pendapat al-Baidhawi dalam menafsirkan ayat tersebut. Menurutnya, memang sebagian besar penyair saat itu hanya mengungkapkan khayalan-khayalan yang jauh dari kebenaran, dan sebagain besar dari mereka itu telah mengumbar syahwatnya melalui kata-kata berkaitan dengan cinta dan pencabulan, cumbu rayu, menyebut sifat perempuan dan bentuk tubuhnya dengan telanjang, laksana mereka melihat onta di hadapannya, janji dusta, dan bangga dengan sesuatu yang tidak benar, juga hinaan kepada sesamanya.

Penulis atau penyair yang menulis sesuatu yang menyesatkan orang lain (lalai dari mengingati Allah).... termasuklah skrip, lirik, lagu-lagu atau apa jua konotasi dalam apa jua yang diterjemahkan sebagai bahan bacaan untuk didengar lalu disebarkan. Diibaratkan oleh Allah sebagai pengembara yang ‘berangan’ dari lembah ke lembah, bercakap (menulis) sesuatu yang tidak dilakukannya.

Mereka yang menulis, menyunting, menerbit, mencetak dan menyebarkannya..tertaklif padanya ayat-ayat di atas yang merupakan terma dan syarat dalam batas-batas sebagai mukmin yang beramal soleh serta berjuang menyampaikan kebenaran.Firman Allah selanjutnya, “Kecuali orang-orang yang beriman”, sebagai pengecualian penyair mukmin yang baik, yang sering mengingat Allah, dan dorongan untuk memegang pada norma atau etika, seperti menjaga kemaluan, penyeruan untuk beribadah kepada Allah, bersilaturahim dan semacamnya (At-Tahawani, Kasyaf Isthilahat al-Funun, Juz II, hlm 744-755)
.
Nabi sangat apresiatif terhadap para penyair, sebagaimana yang dilakukan kepada Hasan bin Tsabit. Al-Mubarad adalah salah seorang sahabat sering meriwayatkan sikap apresiasi Nabi kepada penyair. Menurutnya, Rasullah sering menatap penyair dengan wajah tersenyum dan bersabda, “Padamu semoga Allah memberi kemantapan hati.” Hal ini dilakukan Nabi tatkala mendengar kasidahnya Ibnu Rawahah (Muhammad bin Sulam al-Jumahi, Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hlm 188).

Tiada ulasan:

Catat Ulasan